Senin, 28 Februari 2011

keluarga sejahtera


MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTERA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1. Definisi Keluarga
Definisi keluarga dikemukakan oleh beberapa ahli :
a.      Reisner (1980)
Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang terdiri dari bapak, ibu, adik, kakak, kakek dan nenek.
b.      Logan’s (1979)
Keluarga adalah sebuah sistem sosial dan sebuah kumpulan beberapa komponen yang saling berinteraksi satu sama lain.
c.       Gillis (1983)
Keluarga adalah sebagaimana sebuah kesatuan yang kompleks dengan atribut yang dimiliki tetapi terdiri dari beberapa komponen yang masing-masing mempunyai arti sebagaimana unit individu.
d.      Duvall
Keluarga  merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota.
e.       Bailon dan Maglaya
Keluarga  adalah kumpulan dua orang atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi, hidup dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama lainnya dalam perannya dan menciptakan dan mempertahankan suatu budaya.
f.       Johnson’s (1992)
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam kehidupan yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap, yang mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang dengan orang yang lainnya.
g. Lancester dan Stanhope (1992)
Dua atau lebih individu yang berasal dari kelompok keluarga yang sama atau yang berbeda dan saling menikutsertakan dalam kehidupan yang terus menerus, biasanya bertempat tinggal dalam satu rumah, mempunyai ikatan emosional dan adanya pembagian tugas antara satu dengan yang lainnya.
g.      Jonasik and Green (1992)
Keluarga adalah sebuah sistem yang saling tergantung, yang mempunyai dua sifat (keanggotaan dalam keluarga dan berinteraksi dengan anggota yang lainnya).
h.      Bentler et. Al (1989)
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang unik yang mempunyai kebersamaan seperti pertalian darah/ikatan keluarga, emosional, memberikan perhatian/asuhan, tujuan orientasi kepentingan dan memberikan asuhan untuk berkembang.
i.        National Center for Statistic (1990)
Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu rumah.
k. Spradley dan Allender (1996)
Satu atau lebih individu yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional, dan mengembangkan dalam interelasi sosial, peran dan tugas.
l. BKKBN (1992)
keluarga  adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami stri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.
            Tidak dapat kita pungkiri, sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembangunan sebuah bangsa. Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah bersama-sama dengan segenap komponen masyarakat berkepentingan untuk membangun keluarga-keluarga di negara kita tercinta ini agar menjadi keluarga yang sejahtera yang dalam konteks ini kita maknai sebagai keluarga yang sehat, maju dan mandiri dengan ketahanan keluarga yang tinggi. Terlebih Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai motor penggerak Program KB di Indonesia, sekarang ini sangat berpihak pada upaya membangun keluarga sejahtera dengan visi dan misinya yang telah diperbaharuhi, yakni ”Seluruh Keluarga Ikut KB” dan ”Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtra ”.Keluarga yang sejahtera, dengan demikian, tentu menjadi dambaan setiap orang untuk mencapainya.
            Bukan saja karena dengan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, seseorang akan dapat menikmati hidup secara wajar dan menyenangkan karena tercukupi kebutuhan materill dan spirituilnya, tetapi dengan kondisi keluarga yang sejahtera setiap individu didalamnya akan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang sesuai dengan potensi, bakat dan kemampuan yang dimiliki.
            Membangun keluarga sejatera, telah banyak diupayakan oleh berbagai pihak, termasuk oleh semua keluarga di Indonesia. Pemerintah pun sebenarnya juga telah cukup lama memberi perhatian pada masalah ini. Terbukti, sejak tahun 1994 lalu, pemerintah telah mencanangkan ”Gerakan Membangun Keluarga Sejahtera” dengan sasaran pokok keluarga Pra Sejahtera dan KS I alasan ekonomi yang sering dikategorikan sebagai keluarga miskin. Namun  banyak di antara mereka yang gagal. Faktanya,  hingga saat ini, tidak kurang dari 26,4 juta keluarga (hasil Pendataan Keluarga 2007) di negeri ini tetap dalam kondisi kurang sejahtera bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai pra syarat untuk dapat hidup secara layak. 
            Bila kita cermati, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan dan wawasan mereka tentang kesejahteraan itu sendiri, hingga mereka tidak tahu langkah-langkah apa yang efektif untuk mencapainya. Kurangnya wawasan dan pengetahuan tentang kesejahteraan  termasuk dalam perspektif agama juga telah menyebabkan mereka memiliki pandangan yang keliru mengenai arti dari kesejahteraan itu sendiri. Umumnya masyarakat masih menganggap bahwa keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang tercukupi kebutuhan materinya., Dalam arti asalkan keluarga tersebut memiliki harta yang banyak, rumah yang besar dan mewah, kendaraan dan peralatan rumah tangga yang modern serta memiliki tabungan yang banyak, telah dianggap sejahtera hidupnya, tanpa memikirkan hal-hal yang bersifat psikis. Harus disadari bahwa pand tersebut adalah pandangan yang keliru. Karena kesejahteraan keluarga tidak hanya diukur dengan kecukupan materi saja. Masih banyak syarat lain yang harus dipenuhi.
            Kalau kita baca Bab I Pasal 1 Ayat 11 dari Undang Undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sejahtera maka kita akan mengetahui bahwa keluarga yang sejahtera itu  tidak hanya tercukupi kebutuhan materiilnya, tetapi juga harus didasarkan pada perkawinan yang sah, tercukupi kebutuhan spirituilnya, memiliki hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, antara keluarga dengan masyarakat sekitarnya, dengan lingkungannya dan sebagainya. itu semua diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan hidup sehingga hidupnya dapat tenteram dan nyaman tanpa rasa was-was. Dapat kita bayangkan, bagaimana mungkin sebuah keluarga mencapai kebahagiaan sejati walaupun berlebihan secara materi, namun selalu dikejar rasa berdosa atau bersalah karena harta yang ia makan dan ia gunakan  merupakan hasil korupsi atau tindak kejahatan lainnya.  Sungguh,dalam keluarga tersebut yang ada hanya rasa was-was, takut, dan jiwa yang gersang sehingga materi yang berlimpah hanya akan membuat hidupnya sengsara secara batiniah,dalam arti kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang sebenarnya tidak akan pernah tercapai.Dengan demikian,  kebahagiaan dan kesejahteraan hidup harus tercakup didalamnya adalah adanya rasa tenteram, aman dan damai. Seseorang akan merasa bahagia apabila terpenuhi unsur-unsur tersebut dalam kehidupannya.
Sedangkan sejahtra diartikan sebagai keadaan lahiriah yang diperoleh dalam kehidupan duniawi yang meliputi : kesehatan, sandang, pangan, papan, paguyuban, perlindungan hak asasi dan sebagainya.
 Jadi seseorang yang sejahtera hidupnya adalah orang yang memelihara kesehatannya, cukup sandang, pangan, dan papan. Kemudian diterima dalam pergaulan masyarakat yang beradab, serta hak-hak asasinya terlindungi oleh norma agama, norma hukum dan norma susila. 
            Agama Islam memiliki penganut terbesar di Indonesia, memandang bahwa membangun keluarga sejahtra merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan (keluarga) yang diawali dengan perkawinan/pernikahan Islami. Karena perkawinan adalah hal mendasar dalam pembentukan keluargaIslam. Tanpa perkawinan sesuai ajaran/ketentuan agama, mustahil sebuah keluarga akan mencapai kesejahteraan yang diidamkan. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT yang menyebarkan agama Islam di bumi ini, memuji institusi tersebut sebagai bagian dari sunah beliau. Dengan demikian, sebuah perkawinan harus betul-betul direncanakan dengan baik. Termasuk dalam hal ini adalah dalam pemilihan pasangan hidup, yang bukan hanya sekedar atas pertimbangan kecantikan/kegantengannya atau pekerjaan dan status sosial ekonominya, tetapi juga agama dan bibit, bobot dan bebet nya. Guna memaknai perkawinan, Al Qur’an menggunakan istilah ”Mitsaqon Gholidhon” yang artinya perjanjian yang teguh/kuat.  
            Istilah tersebut pertama-tama menunjuk pada perjanjian antara Allah SWT dengan para Nabi dan Rasul. Tetapi dalam Surat An Nisaa’ Ayat 21 menunjuk pada perjanjian nikah. Dengan demikian, Al Qur’an menunjukkan kesesuaian hubungan antara suami dan isteri, mirip dengan kesucian hubungan antara Allah SWT dan manusia yang dipilihnya. Maka,  perkawinan atau pernikahan dipandang sebagai tugas, dan anak-anak dilihat sebagai salah satu wujud berkah Allah SWT bagi suami isteri. Nabi Muhammad SAW menyebut perkawinan sebagai ”setengah ibadah”. Perkawinan bukanlah suatu perkara duniawi belaka, karena hukum yang mengatur tak hanya dari manusia, tetapi juga dari Allah SWT sendiri.
            Perkawinan menurut Islam juga dipandang sebagai perjanjian timbal balik yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suami dan isteri. Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup demi pengesahan hubungan seksual serta untuk mendapatkan keturunan/anak. Perkawinan yang sembunyi-sembunyi atau kumpul kebo tidak dibenarkan sama sekali. Suami harus menjadi pemimpin atau kepala keluarga yang bertanggung jawab atas nafkah dan kesejahteraan isteri maupun anak.Dalam agama Islam,  keluarga sejahtra disubstansikan  dalam bentuk keluarga sakinah. Pengertian keluarga sakinah diambil dan berasal dari Al Qur’an, yang dipahami dari ayat-ayat Surat Ar Ruum, dimana dinyatakan bahwa tujuan keluarga adalah untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dengan dasar kasih sayang. Yaitu keluarga yang saling cinta mencintai dan penuh kasih sayang, sehingga setiap anggota keluarga merasa dalam suasana aman, tenteram, tenang dan damai, bahagia dan sejahtera namun dinamis menuju kehidupan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat.    
Sementara menurut Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/71/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah Bab III Pasal 3 dinyatakan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material yang layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
 Oleh sebab itu untuk membangun keluarga sakinah, paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu:
·         Perkawinan didasari karena agama, artinya perkawinan tersebut diusahakan minimal yang seagama guna mencapai ketaqwaan suami isteri dan keturunannya,
·         Calon suami dan isteri sedapat mungkin telah berkemampuan (istihoah) baik fisik, mental maupun material,
·         Diusahakan adanya keseimbangan (kaafaah) antara calon suami dan isteri.
            Sementara itu untuk mencapai kehidupan keluarga yang sakinah dan sejahtera, setiap keluarga harus mengupayakan terpenuhinya lima  aspek pokok kehidupan berkeluarga
Ø  Pertama : terwujudnya kehidupan beragama dan ubudiyah dalam keluarga dengan menciptakan suasana ke Islaman dalam keluarga, dengan melakukan berbagai kegiatan sebagai berikut:
·         Membudayakan shalat jamaah dalam keluarga,
·         Membiasakan membaca Al Qur’an secara rutin, umpamanya sehabis shalat Maghrib dan atau setelah shalat Subuh,
·         Mengadakan amalan Ubudiyah Yaumiyah dalam keluarga seperti doa-doa, ucapan basmalah, salam dan sebagainya.
Ø  Kedua: pendidikan keluarga yang mantap, seperti yang dituntunkan Lukman terhadap anaknya, dengan jalan antara lain :
·         Pendidikan Ke-Tauhidan,
·         Pendidikan Pengetahuan, Keilmuan,
·         Pendidikan Ketrampilan,
·         Pendidikan Akhlaq,
·         Pendidikan Kemandirian.

Ø  Ketiga, kesehatan keluarga yang terjamin, dengan menumbuhkan kebiasaan keluarga untuk memelihara kesehatan, antara lain:
·         Kebersihan rumah dan lingkungan,
·         Melakukan olah raga keluarga,
·         Memperhatikan kesehatan dan gizi keluarga
Ø  Keempat: ekonomi keluarga yang stabil, dengan cara menyusun perencanaan pendapatan dan belanja keuangan keluarga. Kegiatannya antara lain :
·         Mengendalikan keuangan keluarga, jangan boros tetapi juga jangan kikir / bakhil,
·         Membiasakan menabung,
·         Memanfaatkan pekarangan dan industri rumah tangga untuk menunjang ekonomi keluarga.
Ø  Kelima: hubungan insani yang Islami antara anggota keluarga maupun antar keluarga/tetangga, dengan jalan antara lain :
·         Membina sopan santun etika dan akhlaq sesuai dengan kedudukan masing-masing,
·         Menciptakan forum komunikasi antara anggota keluarga dalam rangka membina keakraban dan kehangatan keluarga seperti waktu-waktu sesudah jamaah, waktu makan, rekreasi dan sebagainya,
·         Adanya rasa saling memiliki satu sama lain dan bertanggung jawab mengenai nama baik keluarga seacara utuh,
·         Adanya rasa saling harga menghargai di antara anggota keluarga,
·         Melaksanakan ajaran Islam tentang hidup bertetangga.
Dalam pandangan salam keluarga sejahtera lebih umum disebut dengan keluarga sakinah. Dalam Program Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah, dikenal tahapan:
1.      Keluarga Pra Sakinah,
     Keluarga Pra Sakinah adalah keluarga-keluarga yang dibentuk bukan melalui ketentuan perkawinan yang sah, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar spiritual dan material (basic need) secara minimal seperti keimanan, shalat, zakat fitrah, puasa, sandang, pangan, papan, dan kesehatan..

Indikator/tolok ukur keluarga Pra Sakinah terdiri atas:
*      Keluarga dibentuk tidak melalui perkawian yang sah,
*      Tidak sesuai dengan ketetuan perundang-undangan yang berlaku.
*      Tidak memiliki dasar keimanan,
*      Tidak melakukan shalat wajib,
*      Tidak mengeluarkan zakat fitrah,
*      Tidak menjalankan puasa wajib,
*      Tidak tamat SD, dan tidak dapat baca tulis,
*      Termasuk kategori fakir dan atau miskin,
*      Berbuat asusila,
*      Terlibat perkara-perkara kriminal

2.      Keluarga Sakinah I,
     Keluarga Sakinah I adalah keluarga-keluarga yang dibangun atas perkawinan yag sah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material secara minimal, tetapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, bimbinga keagamaan dalam keluarganya, mengikuti interaksi sosial denga lingkunganya.

    
Indikator/tolok ukur Keluarga Sakinah I terdiri atas:
*      Perkawinan sesuai dengan syariat dan UU No 1 Tahun 1974,
*      Keluarga memiliki surat nikah dan bukti lain, sebagai bukti perkawina yang sah,
*      Mempunyai perangkat shalat, sebagai bukti melaksanakan shalat wajib dan dasar keimanan,
*      Terpenuhinya kebutuhan makanan pokok, sebagai tanda bukan tergolong fakir miskiN.
*      Masih sering meninggalkan shalat,
*      Jika sakit sering pergi ke dukun,
*      Percaya terhadap tahayul,
*      Tidak datang ke pengajia/majelis taklim,
*      Rata-rata keluarga tamat atau memiliki ijazah SD.

3.      Keluarga Sakinah II,
     Keluarga Sakinah II adalah keluarga-keluarga yang dibangun atas perkawinan yang sah disamping telah dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya, juga telah mampu memahami pentingnya pelaksanaan ajaran agama serta bimbingan keagamaan dalam keluarga serta mampu mengadaka interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya, tetapi belum mampu menghayati atau mengembangkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlaqul karimah, infaq, zakat, amal jariyah,  menabung dan sebagainya.

Indikator/tolok ukur Keluarga Sakinah II terdiri atas:
*      Tidak terjadi perceraian kecuali sebab perceraian atau hal sejenis lainnya yang mengharuskan terjadinya perceraian itu,
*      Penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok sehingga bisa menabung.
*      Rata-rata keluarga memiliki ijazah SLTP,
*      Memiliki rumah sendiri meskipun sederhana,
*      Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sosial keagamaan,
*      Mampu memenuhi standar makanan yang sehat/memenuhi empat sehat lima sempurna,
*      Tidak terlibat perkara kriminal, judi, mabuk, prostitusi dan perbuatan amoral lainnya.

4.       Keluarga Sakinah III
     Keluarga Sakinah III adalah keluarga-keluarga yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan, akhlaqul karimah, sosial psikologis, dan pengembagan keluarganya, tetapi belum mampu menjadi suri tauladan bagi lingkungannya.

Indikator/tolok ukur Keluarga Sakinah III terdiri atas:
*      Aktif dalam upaya meningkatkan kegiatan dan gairah keagamaan di masjid-masjid maupun dalam keluarga,
*      Keluarga aktif menjadi pengurus kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan,   
*      Aktif memberikan dorongan dan motivasi untuk meningkatkan kesehata ibu dan anak serta kesehatan masyarakat pada umumnya,
*      Rata-rata keluarga memiliki ijazah SLTA ke atas,
*      Pengeluaran zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf senantiasa meningkat,
*      Meningkatnya pengeluaran korban,
*      Melaksanakan ibadah haji secara baik dan benar, sesuai tuntutan agama dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

5.      Keluarga Sakinah III Plus sebagai bentuk perkembangan sebuah keluarga dalam mencapai tingkat kesejahteraanya.
     Keluarga Sakinah III Plus adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan dan akhlaqul karimah secara sempurna, kebutuhan sosial psikologis, dan pengembangannya serta dapat menjadi suri tauladan, bagi lingkunganya.

Indikator/tolok ukur Keluarga Sakinah III Plus terdiri atas:
*      Keluarga  yang telah melaksanakan haji dapat memenuhi kriteria haji mabrur,
*      Menjadi tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh organisasi yang dicintai oleh masyarakat dan keluarganya,
*      Pengeluaran zakat, infaq, shadaqah, jariyah, wakaf meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
*      Meningkatnya kemampuan keluarga dan masyarakat sekelilingnya dalam memenuhi ajaran agama,
*      Rata-rata anggota keluarga memiliki ijazah sarjana,
*      Nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah tertanam dalam kehidupan pribadi dan keluarganya,
*      Tumbuh berkembang perasaan cinta kasih sayang secara selaras, serasi da seimbang dalam anggota keluarga dan lingkungannya,
*      Mampu menjadi suri tauladan masyarakat sekitarnya
            Artinya, tahapan ini menjadi ukuran yang dapat dinilai dan dievaluasi, dimana posisi sebuah keluarga dalam upaya mencapai kehidupan sesuai tuntunan Islam sehingga mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Program Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah ini merupakan bagian dari upaya meletakkan dasar-dasar kerangka dan agenda reformasi pembangunan agama dan sosial budaya dalam mewujudkan keluarga sejahtera yang bermoral tinggi, penuh keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
 Oleh karena itu, mewujudkan keluarga sejahtera dalam perspektif Islam harus ditekankan pada aspek penanaman, penghayatan dan pengamalan atas nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkup keluarga. Penanaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama ini dimaksudkan  untuk mengimbangi dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga keluarga-keluarga di Indonesia memiliki ketahanan yang kokoh dalam menghadapi era globalisasi dan berbagai pengaruh masuknya budaya asing.
Melalui Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah diharapkan tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat dapat berjalan optimal, sehingga nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia dapat tertanam dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan mengembangkan aspek keluhuran akhlak dan moral, keluarga dan masyarakat Indonesia tidak akan terseret pada pola pikir materialisme dan lebih meghargai kebenaran, kebaikan dan keadilan. Tingkat kemiskinan masyarakatpun dapat ditekan melalui penguatan institusi keluarga dan masyarakat, sehingga mobilisasi sumber daya masyarakat dapat ditingkatkan dan masyarakat mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Disamping itu, ketahanan keluarga akan terus meningkat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh dampak negatif budaya asing yang merusak tatanan kehidupan rumah tangga. Mencermati tahapan-tahapan dalam keluarga sakinah, kita dapat memahami bahwa secara umum konsep keluarga sakinah tidak jauh berbeda dengan konsep keluarga sejahtera yang secara eksplisit telah dicantumkan dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Paling tidak, unsur-unsur yang mendasar seperti perkawinan yang sah, terpenuhinya kebutuhan materiil dan spirituil yang layak, serta terjalinnya hubungan yang harmonis di antara anggota keluarga serta dengan masyarakat, telah menunjukkan kesamaan persepsi.
Kesamaan persepsi tersebut akan terlihat jelas apabila kita mencermati indikator tahapan-tahapan keluarga sejahtera yang dimanifestasikan dalam bentuk Keluarga Pra Sejahtera, KS I, KS II, KS III dan KS III Plus. Hal ini dapat kita maknai, dalam konteks yang lebih luas, agama  telah Islam memberikan kontribusi yang tidak ternilai harganya dalam upaya mewujudkan keluarga sejahtera di Indonesia.Berbicara mengenai upaya mewujudkan keluarga sjahtera, tentu kita tidak akan lepas empat aspek yang menjadi bidang garapan pokok dalam Keluarga Berencana (KB) sebagaimana tercantum dalam pengertian KB menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 Bab I Pasal 1 Ayat 12, yakni Pendewasaan Usia Perkawinan, Pengaturan Kelahiran, Pembinaan Ketahanan Keluarga dan Peningkatan Kesejahteraan Keluarga.
Di sini agama Islam telah memberikan gambaran yang jelas di setiap aspek, yang secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan dukungan positif agama Islam terhadap upaya mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahteraTerkait dengan aspek Pendewasaan Usia Perkawinan,  meskipun dalam Islam tidak ada ketetapan usia kawin, namun merujuk pada Al Qur’an Surat An Nisaa’ Ayat 6, disyaratkan bahwa mereka yang melaksanakan perkawinan harus sudah cukup umur, dan telah cerdas (pandai) memelihara harta. Hal tersebut dapat kita terjemahkan bahwa perkawinan dalam Islam baru dapat dilaksanakan bila pria atau wanitanya telah mencapai kedewasaan (fisik maupun psikis).
Selain itu, sudah mampu mengatur ekonomi keluarga sebagai modal dasar untuk mencapai keluarga yang bahagia dan sejahtera. Pertimbangannya, usia kawin mengandung makna biologis, sosio-kultural, dan demografis.
Secara biologis, hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat menyebabkan nyeri kemaluan, cabikan dan robekan. Lagi pula, apabila terjadi kehamilan, maka hal itu akan membawa resiko besar terhadap si ibu maupun anak. 
Secara sosio-kultural, pasangan tersebut (terutama si istri) harus mampu memenuhi tuntutan sosial perkawinan, mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak. Usia yag terlalu muda bisa menyebabkan tidak hadirya unsur yang disebutkan dalam Al Qur’an, yaitu hidup dalam ketenteraman (sakan).
Secara demografis (kependudukan), usia kawin yang lebih tinggi merupakan salah satu cara dalam mengurangi kesuburan tanpa penggunaan kontrasepsi.
Sementara itu, terkait dengan aspek Pengaturan Kelahiran,  meskipun dalam Islam tidak ada pembatasan tentang jumlah anak yang dilahirkan, namun  ada harus memperhatikan kualitasnya. Al Qur’an dalam Surat Al Ma’idah ayat 100 telah mengingatkan kepada kita bahwa nilai terletak pada kualitas bukan kuantitas.
Nabi Muhammad SAW sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hakim, menyadari bahwa mempunyai terlalu banyak anak tanpa sarana untuk merawat mereka merupakan cobaan yang besar. Sementara itu, tokoh besar kaum mukmin Ibn ’Abbas, menyatakan bahwa mempunyai anak yang terlalu banyak akan membawa kepada kesulitan. Sementara itu, upaya pengaturan kelahiran melalui penjarangan anak , tercermin dalam Islam dari Surat Al Baqarah Ayat 233 yang menyatakan bahwa para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, terutama bagi mereka yang ingin menyempurnakan penyusuan.  Pada ayat lain, penyapihan anak disebutkan berlangsung dua tahun (Surat Luqman Ayat 14). Ini berarti, apabila dua tahun penyapihan itu ditambah dengan enam bulan yang merupakan waktu minimum kehamilan untuk dapat menghasilkan seorang anak dalam keadaan normal, maka jumlah seluruhnya menjadi tiga puluh bulan sebagaimana di sebutkan dalam Surat Al-Ahqaf Ayat 15. 
Beberapa ayat tersebut menjadi bukti bahwa  menganjurkan Islam penjarangan anak sehingga memungkinkan si ibu menyusui anaknya dengan makanan tambahan sesuai pertumbuhan si anak. Selama periode ini, kehamilan baru dienggankan. Nabi  Muhammad SAW sendiri telah memperingatkan wanita supaya tidak hamil di masa penyusuan anak, dengan menamakan hal itu  al-ghail, ghailah, atau ghiyal (serangan kepada si anak). Upaya menjarangkan kelahiran anak ini secara langsung maupun tidak langsung berkaita erat dengan upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga. Karena dengan jarak anak yang cukup, orangtua khususnya ibu tetap dalam kondisi sehat dan akan lebih leluasa dalam bekerja mencari rezeki di jalan Allah SWT.Selanjutnya, terkait dengan aspek Pembinaan Ketahanan Keluarga, Agama  telah Islam memberikan tuntunan dalam bentuk kewajiban dan tanggung jawab suami kepada isteri dan sebaliknya serta kewajiban dan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya dan sebaliknya. 
 Bila semua kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing pihak dapat dipenuhi niscaya keluarga akan berjalan tenteram, tidak ada perselisihan, percekcokan maupun kasus-kasus perselingkuhan, perzinaan yang dapat memperlemah ketahanan keluarga mereka, karena perceraian, terserang penyakit kelamin dan atau HIV/AIDS. Anak-anak juga tidak akan terlantar, sehingga kasus anak kelaparan, anak menjadi gelandangan atau kasus kenakalan anak/remaja dengan segala konsekuensinya dapat dihindari. Bentuk-bentuk kewajiban dan tanggung jawab suami adalah memimpin dan membimbing keluarga lahir batin, melindungi isteri dan anak-anak, memberikan nafkah lahir dan batin sesuai dengan kemampuan, mengatasi keadaan dan mencari penyelesaian secara bijaksana serta tidak bertidak sewenang-wenang. Sementara bentuk-bentuk kewajiban dan tanggung jawab isteri adalah menghormati da mencintai suami, mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, dan memelihara serta menjaga kehormatan rumah tangga. Terhadap anak, orangtua berkewajiban merawat dan mendidik sebaik-baiknya.
Hal ini dapat dari  10 hak anak yang menjadi pencerminan dari kewajiban dan tanggung jawab orangtua, yaitu:
·         Hak akan kesucian keturunan,
·         Hak untuk hidup,
·         Hak atas keabsahan dan nama yang baik,
·         Hak akan penyusuan, tempat kediaman, pemeliharaan, termasuk perawatan kesehatan dan nutrisi,
·         Hak untuk pengaturan tidur yang terpisah,
·         Hak keamanan di masa depan,
·         Hak atas pendidikan agama dan perilaku yang baik,
·         Hak atas pendidikan dan latihan olah raga serta bela diri,
·         Hak atas perlakuan yang adil,
·         Hak bahwa semua dana yang digunakan untuk menafkahi mereka hanya berasal dari sumber-sumber yang halal.
            Ayat-ayat Al Qur’an  yang menguraikan tentang  hak-hak anak tersebut dapat dilihat pada Surat Al-An’am Ayat 151, Surat Al-Isra’ Ayat 31, Al Baqarah Ayat 233 dan beberapa hadist nabi. Akhirnya terkait dengan aspek Peningkatan Kesejahteraan Keluarga, Agama Islam telah memberikan penuh pada seluruh keluarga untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini tidak saja tercermin dari  Ayat-ayat dalam Al Qur’an, tetapi juga dalam Hadist.
            Namun demikian, upaya mencari rezeki yang dilakukan hendaklah dengan cara yang  halal. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi antara lain sebagai hak anak atas oragtuanya ialah bahwa orangtua mengajarinya menulis, berenang, memanah dan hanya memberinya rezeki yang hahal. Dari hadist tersebut kita dapat mengetahui bahwa  semua dana dan sumber yang digunakan untuk nafkah anak-anak harus bersumber dari pendapatan yang sah dan halal. 
            Selanjutnya upaya pemberdayaan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan keluarga oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya menurunkan kemiskinan, dalam Islam dianjurkan dengan meningkatkan ekonomi kerakyatan yang dilaksanakan dengan mengembangkan koperasi masjid, majelis taklim, LMS Agama dan Kelompok Keluarga Sakinah serta membentuk Desa Binaan Gerakan  Keluarga Sakinah.Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Agama Islam sangat mendukung upaya membangun keluarga yang sjahtera. Bentuk dukungan ini bukan hanya sebatas pada upaya mendewasakan usia perkawinan, pengaturan kelahiran atau pembinaan ketahanan keluarga, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga yang bersangkutan. Dan hal-hal tersebut telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW,  bukan sekedar ajakan melalui sabda-sabdanya, tetapi juga melalui contoh dalam kehidupan nyata. Karena Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang yang ulet dan tangguh, sehingga kehidupan keluarganya dalam kondisi bahagia dan sejahtera, yang tercermin dari riwayat kehidupan beliau sebagaimana disampaikan oleh sahabat-sahabat beliau dalam catatan sejarah. Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kulonprogo

Pentahapan Keluarga Sejahtera secara umum

a.       Keluarga Pra Sejahtera:
Yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.

b.      Keluarga Sejahtera Tahap I :
Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan social psikologisnya (socio psychological need), seperti kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.

c.       Keluarga Sejahtera Tahap II
Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan social psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan perkembangannya, seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.

d.      Keluarga Sejahtera Tahap III
Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan kebutuhan pengembangannya namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat, seperti secara teratur (waktu tertentu) memberikan sumbangan dalam bentuk materiil dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta berperan secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan-yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya.

e.       Keluarga Sejahtera Tahap III Plus.
Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat, dan aktif menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan.


Indikator Keluarga Pra Sejahtera dan KS I
·         Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
·         Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
·         Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai dan dinding yang baik.
·         Bila anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan.
·         Bila pasangan usia subur ber-KB pergi ke sarana kesehatan.
·         Semua anak umur 7 – 15 tahun dalam keluarga bersekolah

Indikator keluarga sejahtera tahap II
·         Lantai rumah bukan dari tanah
·         Keluarga yg berumur >15 punya penghasilan tetap
·         Anak usia sekolah (7-15 th) bersekolah
·         Bisa baca tulis bagi seluruh anggota keluarga dewasa
·         Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan.
·         Upaya keluarga meningkatkan atau menambah pengetahuan agama
·          

Indikator keluarga sejahtera tahap III
·         Makan 2x sehari/ lebih
·         Memperoleh pakaian baru dalam 1 tahun terakhir
·         Keluarga mempunyai tabungan
·         Ikut serta dalam kegiatan masyarakat
·         Rekreasi bersama paling kurang dalam 6 bulan.

Indikator keluarga III plus
·         Makan 2x sehari/ lebih
·         Keluarga mempunyai tabungan
·         Ikut serta dalam kegiatan masyarakat
·         Lanati rumah bukan dari tanah
·         Memperoleh berita dari surat kabar, radio, televisi, dan majalah
·         Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi
·         Mampu memberikan sumbangan atau kegiatan sosial lainnya

Menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN (1996), tahapan keluarga sejahtera terdiri dari:
· Prasejahtera
Keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal atau belum seluruhnya terpenuhi seperti:spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan KB
· Sejahtera I
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
· Sejahtera II
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan kebutuhan sosial psikologisnya tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan, seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi
· Sejahtera III
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat atau kepedulian sosialnya belum terpenuhi seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat
· Sejahtera III plus
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan, dan telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan atau memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Profil keluarga sejahtera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar